Keberhasilan tarbiyah dan pembinaan Rasulullah SAW semakin terbukti di kala pimpinan estafet dakwah Islam diamanahkan kepada khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq sendiri menorehkan sejarah dengan banyak kegemilangan. Tidak hanya berhasil memberantas gerakan nabi-nabi palsu, kaum murtad, ingkar zakat, dan pemberontak lainnya tapi juga berhasil dalam pembukuan mushaf Al-Qur’an. Masalah yang terakhir inilah yang akan dibahas sekilas dalam tulisan ini.

Pertama. masih ada saja yang menyebutkan istilah “kodifikasi Al-Qur’an”. Sebutan ini tidak tepat, kata kodifikasi, akan bermakna bahwa catatan Al-Qur’an sepeninggal Rasulullah belum lengkap, ini jelas tidak benar. Al-Qur’an dalam bentuk catatan sebenanrnya sudah lengkap, hanya saja terserak. Apa yang dilakukan dalam kebijakan pemerintah Abu Bakar ialah menghimpun dokumentasi yang sudah ada. Al-Qur’an (114 surat, 30 juz) sudah ditulis sejak zaman Rasulullah. Bahkan setiap turunnya wahyu, Rasulullah selalu memerintahkan para sahabat yang berada di sekitarnya untuk mencatatnya.

Kedua. Kendati standar tulisan itu banyak berbeda, namun bunyi bacaannya memang sudah sama. Hal ini selalu diawasi oleh Rasulullah. Urutan tilawah Al-Qur’an pun sudah tersusun di zaman Rasulullah masih hidup, di mana urutan tilawah tersebut tidak mengikuti urutan turunnya Al-Qur’an dari awal wahyu hingga wafatnya Nabi SAW. Jika mengikuti urutan turunnya, seharusnya Al-Alaq ayat 1-5 menjadi al-fatihah (pembuka) surat, namun tartib (urutan) Al-Qur’an memang sudah disepakati di masa Nabi SAW. Dengan begitu Al- Quran turun memang sesuai urutan nuzulnya, akan tetapi urutan tilawah sudah tersusun sejak Nabi SAW masih hidup.

Lantaran para orientalis dan kaum liberal kurang memahami masalah ini namun di sisi lain sangat bertekad dalam menggerus aqidah Islam, akhirnya celah-celah dalam sejarah pembukuan mushaf sering dimanfaatkan oleh mereka untuk membuat kegaduhan.

Para orientalis dan kaum liberal berusaha menyelewengkan aqidah Islam dalam menanamkan keragu-raguan terhadap otentisitas mushaf Al-Qur’an. Bagi umat Islam yang paham sejarah pembukuan mushaf, akan nampak sekali kedangkalan pemahaman kaum orientalis dan liberal tersebut. Bahkan banyak dari tudingan mereka terhadap keaslian mushaf Al-Qur’an jelas mengada-ada saja.

Ketiga. Jumlah sahabat yang menjadi huffazh Al-Qur’an banyak sekali kendati tidak seluruh sahabat. Banyak dari mereka yang mengkahatamkan Al-Qur’an sehari atau bahkan dua kali sehari. Mereka mengkhatamkan dalam bentuk tilawah, seperti yang kita kenal sekarang. Para sahabat telah menghafal Al-Qur’an secara lengkap di masa Rasulullah di antaranya Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud.

Zaid bin Tsabit telah lama dikenal sebagai salah satu sekretaris Rasulullah. Khusus untuk Zaid bin Tsabit, bahkan hasil bacaan akhir dari jibril, oleh Rasulullah ditasmi’ ke Zaid bin Tsabit.

Keempat. Seluruh catatan ayat Al-Qur’an lengkap 114 surat yang telah ditulis di masa Rasulullah hidup tersebar di tangan para sahabat, para sahabat di Madinah sebagian besar memang penghafal Al-Qur’an, kendati belum ada seorang pun yang memiliki catatan Al-Qur’an secara lengkap (114 surat). Setelah Jibril menurunkan wahyu kepada Rasulullah, lalu Rasulullah memerintahkan para sahabat di sekitar untuk menuliskan wahyu, biasanya catatannya tersebut menjadi milik pribadi.

Itulah sebabnya tidak ada seorang pun yang pernah mencatat seluruh Al-Qur’an kendati mereka menghafalnya.

Kelima. Setiap bulan Ramadhan, Jibril selalu turun untuk mendengar muraja’ah Rasulullah sebanyak dua kali.

Keenam. Para sahabat ketika ada wahyu turun, biasanya yang mendengar langsung dari Rasulullah membacakan dan mengajarkan ke sahabat lainnya, hanya secara tilawah dan hafalan saja. Bukan berupa tulisan. Al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi terakhir untuk seluruh manusia hingga akhir zaman, dijaga oleh Allah melalui dua media: hafalan dan kemudian tulisan. Jelaslah yang terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar murni hanya masalah pengumpulan tulisan menjadi satu mushaf. Di mana tulisan Al-Quran itu sendiri juga merupakan Wahyu.

Ketujuh. Sebab-sebab penghimpunan Al-Qur’an dalam satu mushaf:

a) Rasulullah wafat, wahyu yang turun dari Allah berakhir.
b) Banyak penghafal dan pencatat Al-Qur’an yang gugur di medan jihad, utamanya perang Yamamah, perang melawan kelompok nabi palsu Musailimah Al-Kadzdzab. Paling tidak sekitar 1200 sahabat penghafal Al-Qur’an menemui syahidnya. Para huffazh Al-Qur’an di zaman Rasulullah dan Abu Bakar memiliki hasrat berjihad yang tinggi, selain terdepan dalam menghafal, mereka juga terdepan di medan perang. Sebutan mereka adalah qura (penghafal dan pengajar Al-Qur’an), pada zaman itu mereka menjaga banyak sisi Al-Qur’an, baik pembacaan, pemahaman dan penghafalan. Mereka inilah ulama-ulama Qur’ani. Para qura biasa menjadi rujukan bagi pasukan Islam di medan jihad, sebagai pembaca wahyu, imam dan pemimpin-pemimpin mereka. Keberadaan qura sangat dibutuhkan di medan jihad.
c) Catatan Al-Qur’an tersebar menjadi dokumen pribadi para sahabat.
d) Catatan pribadi para sahabat tersebut banyak yang tercampur dengan tafsir dan komentar.

Kedelapan. Umar bin Khathtab yang sangat visioner, sangat menyadari ke depannya akan berdampak yang tidak baik jika Al-Qur’an tidak dibukukan. Oleh karena itulah sahabat berjuluk al-faruq ini memberikan ide kepada Khalifah Abu Bakar untuk melakukan pembukuan Al-Qur’an. Awalnya sang khalifah pertama dalam sejarah Islam itu sempat ragu namun akhirnya Allah melapangkan dadanya, akhirnya menerima ide dari Umar tersebut.

Kesembilan. Khalifah Abu Bakar membentuk panitia pembukuan Al-Qur’an dengan mengangkat sahabat muda yang hebat Zaid bin Tsabit sebagai pengawas. Penunjukkan Zaid bin Tsabit oleh Abu Bakar membuktikan bahwa Zaid merupakan ‘ketua panitia’ pelaksana penghimpun Al-Qur’an.

Hal itu juga menegaskan keunggulan Zaid sebagai sahabat muda yang sangat hebat. Zaid memiliki banyak keunggulan, ia merupakan syabab (pemuda) berusia 21 tahun ketika menjabat ketua panitia pembukuan Al-Qur’an, seorang yang aqil: daya hapalan kuat dan cerdas. Secara kepribadian, keshalihan dan integritas diri pun laksana tanpa cacat. Selain itu pemuda kaum Anshar ini punya pengalaman sebagai sekretaris Rasulullah.

Kesepuluh. Zaid menerima catatan tersebut setelah melakukan validasi yang ketat, yaitu menghadirkan minimal dua orang saksi yang menyaksikan langsung catatan ayat tersebut ditulis di hadapan Rasulullah. Tidak cukup dengan itu, yang memiliki catatan dan dua saksinya itu pun diminta untuk bersumpah atas nama Allah. Oleh karena itu peristiwa pembukuan Al-Qur’an sesunggunya memiliki bobot ilmiah yang sangat tinggi.

Catatan terakhir menurut suatu riwayat, diterima dari sahabat Abu Khuzaimah Al-Anshari, catatan miliknya adalah akhir surat At-Taubah dari ayat 120 hingga akhir surat.

Kesebelas. Zaid bin tsabit menghimpun Al-Qur’an dengan menggabungkan catatan pada media di atas dengan hafalan para sahabat (shudur ar-rijal). Zaid Mencocokan dengan seluruh sahabat yang ada di sana, dicocokan semua. Hasilnya hafalan (tilawah) dan tulisan pun sama.

Kedua belas. Akhirnya, mushaf perdana tersebut disimpan oleh Khalifah Abu Bakar selama hidupnya, lalu dijaga oleh Umar hingga wafat. Kemudian disimpan oleh Ummul Mukminin Hafshah binti Umar bin Khaththab, hingga dipinjam oleh Utsman saat menjabat khalifah. Utsman meminjamnya ketika hendak menstandarkan rasm (tulisan) Al-Qur’an.

Ketiga belas. Media penulisan di masa Nabi SAW hidup dan para sahabat seringnya berupa pelepah kurma, batu tipis, kulit dan tulang.

Demikian, semoga bermanfaat untuk kita semua.

Ilham Martasya’bana, penggiat sejarah Islam

sumber : https://nirunabi.org/10-menit-memahami-peristiwa-pembukuan-mushaf-al-quran-di-masa-khalifah-abu-bakar/